hah?? kontrak Freeport sampai 2041


Entah mimpi apa para petugas pengamanan Gedung Plaza 89, Kuningan, Jakarta. Kamis dini hari pekan lalu, mereka tiba-tiba diserang oleh belasan pemuda asal Papua. Lobi gedung yang juga kantor pusat PT Freeport Indonesia itu dalam waktu singkat habis dirusak. Kaca-kaca gedung dirusak, sedangkan ruang kantor sebuah biro perjalanan dan perusahaan tambang asing hangus dijilat si jago merah. Tak ada yang mampu menahan aksi kelompok tersebut.

Selang sehari sebelumnya, ribuan kilometer dari Jakarta, peristiwa serupa juga terjadi di Tembagapura, Papua. Aksi penertiban aparat gabungan TNI dan Polri terhadap ratusan penambang liar di areal pertambangan milik PT Freeport Indonesia (Freeport) menimbulkan sejumlah korban. Dikabarkan, tiga penambang liar dan dua anggota satpam Freeport terluka. Tak berapa lama kemudian, massa dalam jumlah lebih besar berdatangan dan memblokir jalan yang menjadi akses masuk ke lokasi tambang. Operasi tambang emas, perak, dan tembaga di pegunungan Grasberg itu pun akhirnya berhenti total.
Kendati terpisah jarak, aksi anarki yang terjadi di Jakarta sebenarnya merupakan buntut dari peristiwa memilukan yang terjadi di Papua. Menurut Yan Matuan, Koordinator Solidaritas Mahasiswa Papua di Jakarta, tindakan perusakan oleh sejumlah koleganya tersebut lantaran terpicu oleh aksi penembakan aparat terhadap warga sipil di sekitar tambang Freeport. “Aparat bukannya bertanya baik-baik tapi malah langsung melakukan penembakan. Itulah yang memicu emosi kami,” ujarnya berapi-api, saat ditemui TRUST sesaat sebelum diperiksa Polda Metro Jaya, Kamis pekan lalu.

Boleh dibilang, kejadian ini merupakan gesekan terbaru antara Freeport dengan warga sipil. Hingga tulisan ini diturunkan, Sabtu, 25 Februari 2006, aksi pemblokiran jalan yang dilakukan ratusan massa tersebut masih berlangsung. Tak pelak lagi, aksi tersebut menyebabkan penambangan di Freeport terhenti dan kerugian yang diderita perusahaan itu amat besar. Menurut Mindo Pangaribuan, Manager Corporate Communication PT Freeport Indonesia, setiap harinya, perusahaan tambang ini memproduksi sedikitnya 1.800 ton tembaga dan 9.000 troy ounce emas.


Indonesia Kebagian US$ 1 Miliar

Nah, jika dihitung secara kasar dengan mengacu pada harga tembaga dan emas dunia yang saat ini mencapai US$ 4.930 per ton dan US$ 544,30 per troy ounce (31,103 gram), maka dampak terhentinya aktivitas tambang tadi menimbulkan potensial loss hampir US$ 13,5 juta lebih per hari, atau sekitar US$ 54 juta lebih (Rp 497 miliar) jika aktivitas itu mandek selama empat hari. Bahkan, kalau aksi blokade itu terus berlanjut, total kerugian yang ditanggung Freeport bisa lebih besar lagi. Itu belum termasuk dampak dari kemungkinan melorotnya nilai saham Freeport McMoRan Cooper and Gold (induk dari PT Freeport Indonesia) di lantai bursa.

Anehnya, manajemen Freeport enggan berkomentar lebih jauh mengenai kerugian akibat aksi pemblokiran tersebut. “Masih terlalu dini bagi kami untuk merilis angka-angka kerugian,” ujar Mindo. Ia juga enggan berkomentar tentang skema penyelesaian yang akan diajukan manajemen Freeport untuk menghentikan aksi pemblokiran tersebut. “Kami ini adalah kontraktor pertambangan milik pemerintah RI. Sehingga, masalah ini kami serahkan sepenuhnya kepada pemerintah dan pihak berwajib,” ujarnya panjang lebar.

Yang jelas, Mindo menampik tudingan bahwa aktivitas tambang Freeport selalu bergesekan dengan penduduk lokal. “Yang melakukan pertambangan liar itu bukan warga asli Kabupaten Mimika yang sebagian besar berasal dari suku Amungme. Mereka datang dari sejumlah kabupaten di luar areal tambang kami,” kata Mindo. Ditambahkannya, aktivitas produksi yang dilakukan Freeport selama ini sudah mengacu pada ketentuan yang berlaku.

Terlepas dari masalah tersebut, gesekan itu merupakan kejadian yang kesekian kalinya setelah perusahaan ini resmi beroperasi pada tahun 1971. Inti dari semua konflik tersebut, menurut Yan Matuan, adalah sikap arogan manajemen Freeport terhadap warga asli Papua. “Dengan seenaknya, mereka menambang di tanah kami, sementara yang menikmati kehadiran perusahaan ini hanya sebagian kecil saja,” tutur Yan dengan tegas kepada TRUST.

Tak hanya sebagian warga Papua saja yang menolak kehadiran Freeport. Sejumlah mantan pejabat pun turut merasa gerah melihat aktivitas perusahaan tambang itu. Mantan Menko Ekuin di era Megawati, Kwik Kian Gie, adalah salah satu tokoh yang mengaku cukup kesulitan dalam mendapatkan informasi sahih dari manajemen perusahaan tersebut. “Setiap saya undang, mereka tidak pernah menghadiri undangan tersebut. Saya malah nanya ke sejumlah dirjen saya,” ujarnya.

Kwik juga mempertanyakan besarnya setoran bagi hasil untuk pemerintah RI dari aktivitas pertambangan Freeport. Kwik lantas mengacu pada pola bagi hasil 85%:15% yang biasanya diterapkan pada industri migas. “Mereka mengatakan setoran ke negeri ini mencapai US$ 1 miliar per tahunnya. Tapi, semua itu baru dari setoran pajak, royalti, dan dividen. Lantas, berapa pendapatan negara ini dari bagi hasil penjualan barang tambang itu?” ujar Kwik, bertanya.

Hal senada juga diungkap Amien Rais. Mantan Ketua MPR ini termasuk tokoh yang menentang keberadaan Freeport. Perusahaan tambang itu, menurut Amien, telah melakukan produksi tanpa melalui proses audit. Itu sebabnya ia menduga telah terjadi manipulasi pajak oleh manajemen Freeport.

Di bidang lingkungan hidup, rapor Freeport juga banyak menuai protes. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai Freeport banyak melakukan dosa. Salah satunya, perusahaan asal Amerika itu telah melanggar PP No. 82/2001 yang melarang perusahaan tambang membuang limbah tailing (limbah berlumpur yang mengandung kadar logam berat) ke sumber air. Selama puluhan tahun beroperasi, menurut Siti Maimunah, aktivis Jatam, Freeport membuang limbah tailing-nya ke Danau Wanagon melalui sungai.

Masalahnya, jumlah tailing yang dihasilkan Freeport selama ini luar biasa besar. Berdasarkan data Jatam, untuk menghasilkan 1 gram emas, dihasilkan limbah batuan sebanyak 1,73 ton. Maksudnya, dari pengerukan yang dilakukan tambang ini, hanya sekitar 2%-3%-nya saja yang menjadi emas. Sementara, 97%-98%-nya merupakan tailing. “Kalau dihitung-hitung, saat ini limbah batuan itu sudah mencapai 2,5 miliar ton yang dibuang ke Danau Wanagon,” tuturnya.


Kontrak Karya yang Cacat

Betul, pemerintah telah turun tangan untuk membuktikan semua tudingan miring tersebut. Belum lama ini, Kementerian Lingkungan Hidup mengirim tim proper untuk meneliti kualitas air dan udara dari lokasi tambang serta pembuangan tailing Freeport. Saat ini, tim yang beranggotakan 21 orang dari kalangan akademisi, peneliti, dan media massa itu tengah meneliti berbagai sample temuan yang mereka dapatkan di sekitar lokasi tambang.

Sayangnya, hasil akhir kajian dari tim itu hanya berupa kesimpulan. “Kalau kesimpulan tim ini menyebutkan bahwa di sana telah terjadi pencemaran, kami akan minta mereka untuk memperbaikinya,” ujar Rachmat Witoelar (Menteri Lingkungan Hidup) kepada Wisnu Arto Subari dari TRUST.

Kalau toh tetap membandel, Rachmat menegaskan, Freeport bisa saja diseret ke meja hijau. Masalahnya, ia sendiri meragukan kemampuan kementeriannya untuk melakukan hal itu. “Banyak tahapan yang harus dilakukan untuk mencapai ke proses hukum,” tuturnya. Temuan tim itu sendiri kabarnya baru akan dirilis pada pertengahan Maret mendatang.

Pemerintah juga telah membentuk tim gabungan antardepartemen untuk meneliti tudingan yang dilontarkan Amien Rais. Menurut Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro, tim gabungan itu hanya mengkaji porsi pendapatan negara dari Freeport tanpa mengutak-atik perjanjian kontrak karya. “Selain pemasukan dari royalti, seharusnya juga ada pendapatan dari retribusi, iuran, dan pajak,” tutur Purnomo.

Tak kurang, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengisyaratkan perlunya revisi pendapatan yang harus diterima pemerintah Indonesia. “Dengan harga emas yang saat ini hampir mendekati US$ 600 per ton, maka bagi hasil yang didapat pemerintah seharusnya naik dua sampai tiga kali lipat,” ujar RI-2 itu.

Tim yang dibentuk oleh Rachmat Witoelar maupun Purnomo tampaknya tidak akan banyak bermanfaat. Sebab, seperti dikatakan Jatam, masalah itu justru terletak pada isi kontrak karya yang telah diteken pemerintah dengan Freeport. Kontrak karya pertama yang dilakukan pada tahun 1967, menurut Jatam, mengacu pada UU Penanaman Modal Asing dan bukan berdasarkan UU Pertambangan. Hal itulah yang menjadikan porsi bagi hasil untuk pemerintah seolah tidak “seberapa”. Sialnya, kontrak karya yang cacat itu, menurut Jatam, ternyata diperpanjang oleh pemerintah pada tahun 1991 silam.

Berdasarkan kontrak karya yang kedua, Freeport mendapat tambahan masa konsesi selama 30 tahun lagi plus masa opsi 2 kali 10 tahun. Artinya, perusahaan tersebut akan terus mengeduk Gunung Grasberg hingga tahun 2041 mendatang.

Nah, jika permasalahan mendasar tadi tidak segera dibenahi, bukan tak mungkin, berbagai gesekan yang timbul seperti baru-baru ini akan terus berlanjut hingga anak cucu kita. Semoga saja hal itu tidak akan terjadi. Amien.

sumber: www.majalahtrust.com

0 komentar: